Laman

Jumat, 14 Oktober 2011

CASA 212 JATUH DI HUTAN BAHOROK AKIBAT KELALAIAN PEMERINTAH TIDAK MEMASANG GPS DI LINTASAN PESAWAT

Peristiwa jatuhnya Pesawat Casa 212-200 di gunung Kapur hutan Bahorok pada hari kamis Tgl 29 September 2011 yang telah mamakan korban jiwa Syamsidar Husni, Hammimatul Jannah, Hanif Abdillah, Aisyah, Siswa Sanbungan, Tirnau Karsau, Jefridin, Andi Raylan Bangko, Ahmad Arif, Dr Sulaiman. Dr Juli Dhaliana, Astuti, Suriadi, Tia Aprilia, Samal Ishal, sebagai Pilot, Budiono sebagai Copilot, Nico sebagai Teknisi, dan B Setopo sebagai FOO. Kondisi seperti ini sangat memprihatinkan kepada kita karena telah ada korban nyawa secara sia-sia akibat dari kelalaian Pemerintah dan perusahaan karena tidak mementingkan keselamatan pesawat perintis di Indonesia.

Kelalaian yang dimaksud dalam hal ini terlihat dimana pemerintah belum membangun suatu peralatan yang dapat dipancarkan dari jalur Bukit Barisan yang ada di Sumatera Utara maupun yang ada di Papua tentang signal yang bisa dipancarkan dari sekitar Bukit Barisan tersebut untuk memberikan tanda tanda kepada pilot dimana kondisi cuaca yang mempunyai angin badai.

Sebab dalam penerbangan dunia telah diketahui bahwa hembusan angin barat tersebut sangat sulit untuk di prediksi dan angin barat tersebut dapat tiba-tiba menghempas dengan kecepatan yang tinggi ke gunung Bukit Barisan dan dari hempasan tersebut angina dapat bergulung ke Bukit Barisan dan bergulung ke lembah. Oleh sebab itu perlu dipersiapkan pemerintah suatu alat pada jalur pesawat perintis yang melintasi gunung Bukit Barisan dan jalur yang sering di hembus angina barat.

Dalam penerbangan seperti pesawat perintis yang dibenarkan pemerintah beroperasi fi tanah air seharusnya dilengkapi dengan peralatan radar ataupun GPS dengan instrumen baik yang ada di pesawat maupun yang telah ditanam dijalur lintasan pesawat tersebut agar pilot jika melintas dan melihat kedepan ada tanda tanda yang membahayakan maka pilot dapat menghindari cuaca buruk tersebut.

Disamping kelalaian pemerintah untuk menyiapkan instrument peralatan yang ada di pesawat dan jalur lintasan maka seharusnya pemerintah juga menyiapkan sertifikasi pilot yang dibenarkan membawa pesawat perintis di sekitar Bukit Barisan harus memahami kondisi kondisi gelombang angin yang tiba-tiba  menggulung pesawat dan juga gelombang angin yang tiba-tiba menghempaskan pesawat kedinding Bukit Barisan atau kelembah Bukit Barisan. Jadi dalam hal ini pilot diharapkan benar benar menguasai kondisi dan situasi jalur yang dilintasi dan juga dapat memahami angina ekstrim yang dapat seketika menghempaskan pesawat.

Belakangan ini telah sering terjadi kecelakaan pesawat perintis yang terbang dihutan Papua dan yang terakhir di hutan Bahorok. Walaupun dalam UUD No.1 Tahun 2009 Psl.308 sampai dengan Psl 312, tidak ada diatur secara tegas tentang kewajiban pemerintah untuk menyiapkan peralatan alat komunikasi ataupun GPS yang ditanam di lintasan jalur yang dilalui oleh pesawat perintis tersebut, maka untuk itu kita sangat mengharapkan pemerintah mengembangkan suatu ketentuan keselamatan program keselamatan melalui suatu target dan Indikator pencapaian keselamatan penerbangan melalui suatu system dan peralatan yang harus dipersiapkan oleh pemerintah demi keselamatan penerbangan pesawat perintis yang ada di Indonesia.

Sebaiknya Pemerintah melakukan analisa tentang kondisi alam yang dilintasi oleh pesawat perintis guna dibangun suatu lintasan baik didaerah (lintasan) maupun di pesawat yang dapat melancarkan komunikasi dan juga kondisi didalam pesawat dan juga menara ATC (Air Trafic Control) sebagai tambahan yang di informasikan BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika). 
(Presiden PHP, HMK. ALDIAN PINEM, SH, M.H)
(Rel/Lifaktual)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar